Senin, 31 Oktober 2011

Flypaper (2011) - Review

Flypaper
Release date:  26 August 2011 (Italy)
Genre: Comedy, Crime
Cast: Ashley Judd, Patrick Dempsey, Octavia Spencer
Director: Rob Minkoff

Alasan saya mau nonton film ini yang pertama adalah karena ada Patrick Dempsey-nya. Yes, saya penggemar “Grey’s Anatomy”. Si dokter seksi ini main di film bergenre komedi yang membuat saya penasaran.  Ditemani teman saya yang jomblo juga, maka malam itu sepulang capek kerja seharian, kami duduk menonton.

Patrick Dempsey yang berperan sebagai Tripp punya penyakit obsesif yang sangat aneh. Alarm jamnya selalu berbunyi setiap sejam sekali. Sore itu dia datang ke bank untuk menukar uang receh. Kaitlin (Ashley Judd), sang teller cantik, langsung menarik hati Tripp. Tidak lama setelah transaksi, tiba-tiba ada perampokan bank. Dan tidak tanggung-tanggung ada 2 tim perampok yang berbeda. Tim perampok profesional dan serius terdiri dari 3 orang , dan tim lainnya 2 perampok amatir yang konyol yang menamakan dirinya Jelly dan Peanut Butter.

Tetapi Tripp mencium ada konspirasi dari pihak lain yang memanfaatkan situasi ini. Perampokan hanya hanya sebagai kamuflase saja. Bagian yang lucu yaitu saat- Tripp mencari-cari petunjuk tentang perampokan ini, dengan gayanya yang sok Sherlock Holmes. Ditambah lagi dengan kelakuan Peanut Butter dan Jelly.

Dengan akhir yang tidak terduga, film ini cukup berarti untuk ditonton kok. Pesan saya: perhatikan detail kecilnya. 

Citra Pramana
Twitter: @_citz 




Minggu, 30 Oktober 2011

Horrible Bosses (2011) - Review

Horrible Bosses
Genre: Comedy, Crime
Release Date: 8 July 2011 (USA)
Cast: Kevin Spacey, Collin Farrell, Jennifer Aniston, Jason Bateman, Charlie Day, Jason Sudeikis, Jamie Foxx
Director: Seth Gordon

Bagi Nick (Jason Bateman), bosnya adalah seorang pshyco dan tidak berperasaan kepada karyawannya. Kurt (Jason Sudeikis) terus berseteru dengan bosnya yang tidak kompeten dan gila pesta. Sedangkan Dale (Charlie Day) tersiksa karena atasannya seorang predator seksual yang terus menggoda dan mengancam hubungan pertunangannya.

Ketiga sahabat yang merasa tertindas ini merencanakan pembunuhan bos masing-masing, namun mereka takut masuk penjara. Maka mereka mencari pembunuh bayaran sampai akhirnya bertemu Motherfu**er Jones (Jamie Foxx).

Tidak perlu mengerutkan dahi untuk menikmati film "Horrible Bosses" ini. Duduk santai dan nikmati cemilan Anda. Ini film komedi yang sangat lucu yang menurut saya lebih lucu dibandingkan "The Hangover". Jalan cerita yang ditampilkan pun penuh kejutan. Dan yang menarik, para pemain yang namanya lebih terkenal hanya menjadi pemeran pembantu dibanding para tokoh utamanya. Bahkan peran Jamie Foxx tampak konyol dibandingkan di film-film lainnya.

Yang stres, sebel sama bosnya, tonton film ini.

Koko Anggoro
Twitter: @guekoko

Sabtu, 29 Oktober 2011

Make Way For Tomorrow (1937) - Review

Make Way for Tomorrow
Release date:  7 October 1937 (France)
Genre: Drama, Romance
Cast: Victor Moore, Beulah Bondi
Director: Leo McCarey

Setelah menonton “Make Way for Tomorrow”, saya makin yakin bahwa film-film paling tak terlupakan dibuat sebelum tahun 60an. Hipotesis saya, mungkin karena belum banyak eksperimen yang dilakukan dalam gaya ungkap cerita, akibatnya sutradara fokus sepenuhnya ke dalam cerita.  

Waktu film ini dibuat, Amerika masih tertatih untuk pulih dari Great Depression 1929, sebuah krisis ekonomi yang lebih gawat ketimbang krisis keuangan global 2008. Inilah yang menjadi premis awal: disitanya rumah pasangan lanjut usia, (Pa/Barkley Cooper dan Ma/Lucy Cooper) oleh Bank, sehingga mereka 'terpaksa' merecoki anak-anak mereka dengan menumpang tinggal seatap. Disebabkan kondisi perekonomian anak-anak mereka juga tidak terlalu bagus dan beberapa alasan lain, keduanya harus berpencar. Sang ayah, Pa ikut ke salah satu anak perempuan, si ibu (Ma) tinggal dengan salah seorang anak laki-lakinya.

"No roof is big enough for two families" komentar salah satu menantu mereka. Dan benar, satu demi satu gesekan pun terjadi antar dua generasi itu. Mulai dari perkara mencuci baju sampai dengan perselisihan pendapat bagaimana mendidik cucu mereka dengan baik. Dari sinilah cerita mengalir dengan apik dan menarik sampai dengan selesai.

“Make Way for Tomorrow” memaparkan salah satu bentuk hubungan manusia paling unik dan penuh dinamika: orang tua dan anak. Ketika anak mulai beranjak dewasa, masalah dimulai. Tabrakan otoritas sulit dielakkan. Kutipan dialog ini rasanya mewakili curahan hati banyak orang tua di luar sana:.

"You know, I sometimes think that children should never grow past the age when you have to tuck 'em into bed every night"

Film hitam putih ini dirilis 8 tahun sebelum Republik Indonesia berdiri, lampau sekali. Namun nilai-nilai yang terkandung akan selalu relevan sepanjang zaman. Konklusi film ini terdapat di awal cerita, diungkapkan dengan indah sekali:

"...for there is no magic that will draw together in perfect understanding the aged and the young. There is a canyon between us, and the painful gap is only bridged by the ancient words of a very wise man: "HONOR THY FATHER AND THY MOTHER"

Yes, tissue, please...

Thirdi Canggi 
Twitter: @canggi

Jumat, 28 Oktober 2011

Grave Encounters (2011) - Review

Grave Encounters
Genre: Horor
Released: 9 September 2011 (USA)
Cast: Sean Rogerson, Juan Riedinger, Ashleigh Gryzko, Merwin Mondesir and Mackenzie Gray
Director: The Vicious Brothers (Colin Minihan and Stuart Ortiz)

Di tengah ketatnya deadline kerjaan, teman-teman saya (@ardrameru, @vennyoepit, @_citz) sangat ingin menonton film horor. Dan kebetulan ada film horor baru, "Grave Encounters". Dan mereka merekomendasikan film ini setelah melihat cuplikan filmnya yang katanya mencekam. Oke, baiklah *sigh* saya yang memang tidak suka horor terpaksa harus ikut menikmatinya :(.

Film ini bercerita tentang sebuah reality show televisi dimana Lance Preston beserta timnya mencari hantu dan menayangkannya pada setiap episodenya. Dan kali ini mereka akan menelusuri Collingwood Psychiatric Hospital, sebuah rumah sakit jiwa yang sudah lama tidak berpenghuni. Di sana juga pernah terjadi peristiwa pembunuhan dokter oleh pasiennya. Demi rating bagus dan dramatisasi sebuah acara televisi, tim tersebut dikunci di dalam rumah sakit angker.

Kamera dipasang di berbagai sudut ruangan untuk merekam adanya keanehan. Dan kemudian semua berjalan seperti cerita horor lainnya. Dan sutradara The Vicious Brothers cukup pintar untuk menggarap debut film mereka dengan memilih suasana rumah sakit. Properti dan settingnya mendukung untuk film yang mencekam, seperti kursi roda, tempat tidur besi, ruang operasi, dan lorong-lorong panjang. Dan saya suka adegan ketika Lance Preston kelaparan dan harus memakan tikus yang lewat di depannya. Benar-benar nyata.

Suasana mengerikan dipertajam dengan shaky camera style, gaya pengambilan gambar yang goyang-goyang seperti film "The Blair Witch Project", “Paranormal Activity”, dan "Cloverfield". Gaya ini mulai dipopulerkan pertama kali pada film "Varieté" (1925) dan Napoleon (1927). Ini memberi kesan penonton bahwa kejadian di film "Grave Encounters" benar-benar asli dan tidak diedit.

Meskipun banyak horor sejenis ini, adegan seperti pintu menutup sendiri atau pergerakan hantu yang tiba-tiba, tetap saja membuat saya ketakutan dan kaget. Padahal saya sudah bisa menebak akan seperti apa. Haduh, itulah kenapa saya tidak suka film horor.

Koko Anggoro
Twitter: @guekoko

Kamis, 27 Oktober 2011

Survive Style 5+ (2004) - Review

Survive Style 5+
Genre: Fantasy, Mystery, Romance
Cast: Tadanobu Asano, Reika Hashimoto, Kyoko Koizumi, Hiroshi Abe, Ittoku Kichibe, Yumi Asou, Jai West, Kanji Tsuda, Yoshiyuki Morishita, Yoshiyoshi Awakawa, Vinnie Jones, and Sonny Chiba.
Director: Gen Sekighuci

Saya berterima kasih kepada teman saya, @siagoy, karena dipaksa menonton film ini.Pertama kali saya menyangka ini adalah sebuah film horor. Saya agak trauma dengan film horor Asia, terutama Jepang lewat film "Ju-On" dan Thailand "Shutter", yang membuat saya tidak nyenyak tidur selama beberapa hari hehehe.

Lima cerita yang seiring berjalannya alur saling terjalin menjadi satu kesatuan. Pertama, berkisah tentang Aman (Tadanobu Asano) yang sedang mengubur istrinya di hutan belantara. Sebelum dikubur dengan tanah, wajah mayat istrinya dipukul menggunakan sekop! Suasana sangat mencekam. Ketika Aman kembali ke rumahnya, ia menemukan istrinya sedang duduk manis di meja makan sedang menunggu kedatangan sang suami, dan terus berulang setiap hari dengan kondisi yang berbeda. Adegan ini yang membuat saya berasumsi: ini film horor :p. Kisah kedua menceritakan Yoko (Kyoko Koizumi) yang bekerja di agency iklan. Ia suka tiba-tiba mendapat ide konyol untuk iklannya dan merekamnya ke tape recorder yang selalu dibawanya. Ia pun refleks menggambarkan idenya itu ke dalam imajinasinya dan tertawa sendiri. Sayangnya, idenya itu selalu gagal memikat kliennya, bahkan kekasihnya, Aoyama (Hiroshi Abe), yang seorang ahli hipnotis . Ketiga, seorang pebisnis, Tatsuya Kobayashi (Ittoku Kishibe), yang memenangkan tiket menonton pertunjukan hipnotis Aoyama bersama keluarganya. Sayang, di tengah pertunjukan Kobayashi yang sedang dihipnotis menjadi burung tidak bisa kembali menjadi manusia biasa, karena Aoyama terbunuh. Keempat, munculnya aktor Inggris, Vinnie Jones, sebagai pembunuh bayaran yang selalu mempertanyakan fungsi setiap orang di dunia ini bersama sang asisten (Yoshiyoshi Arakawa). Dan kisah kelima, tiga orang pencuri yang menyatroni rumah keluarga Kobayashi. Namun dua diantara mereka ternyata memiliki kebingungan atas orientasi seksualnya.

Awalnya, saya terus menerka-nerka dan bersabar seperti apa film ini akan berjalan. Dan beruntung mata saya dimanjakan oleh properti-properti nyeleneh dengan warna cerah dan mencolok. Sangat tidak lazim semua itu ada di dunia nyata. Belum lagi banyak hal konyol sangat menghibur selama 2 jam yang membuat saya jauh dari bosan. Lima alur cerita gila yang awalnya sama sekali tidak berhubungan berhasil digabungkan menjadi sebuah cerita yang utuh, meski ada alur cerita yang tidak selesai. Ditambah dengan musik latar belakang terasa pas dan menghidupkan suasana sepanjang film ini.

Di balik keeksentrikan film debut sang sutradara, tersirat makna bagaimana setiap orang punya cara bertahan untuk menghadapi hidup ini. Dan lewat gaya nyentrik yang kental rasa Jepang, film sejenis ini tidak kalah dengan kualitas film Hollywood yang selama ini meraja di seluruh dunia.

Koko Anggoro
Twitter: @guekoko


AWARDS

Fant-Asia Film Festival
Won
2005 - Jury Prize - Best Director (Gen Sekiguchi)
2005 - L'Écran Fantastique Award (Gen Sekiguchi)

Rabu, 26 Oktober 2011

Nanking! Nanking! (2009) - Review


Nanking! Nanking! (City of Life and Death)
Release date:  22 April 2009 (China)
Genre: Drama, History, War
Cast: Ye Liu, Wei Fan, Hideo Nakaizumi
Director: Chuan Lu

Pertama kali menonton film ini, saya kira layar monitor saya rusak. Gambar yang muncul kok hitam putih ya. Lalu saya mencoba mengulang dari awal dan mempercepatnya secara acak sampai ke akhir film. Aaah..tetap hitam putih!! Oke, kita nikmati saja filmnya ya.

Bercerita tentang pengambil alihan ibukota Nanking, Cina, oleh Jepang pada tahun 1937. Kisah ini diangkat dari peristiwa yang sebenarnya yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi antara Jepang dan Cina. Pengadilan Militer Internasional memperkirakan lebih dari 200.000 korban jatuh dalam peristiwa ini. Sedangkan pihak Cina mengestimasi menelan lebih dari 300.000 korban, dan para sejarawan Jepang berasumsi hanya 40.000 - 200.000 korban. Banyak pihak yang menganggap jumlah tersebut dibesar-besarkan dengan tujuan propaganda politik.

Lu Jianxiong (Ye Liu), pria berwajah dingin yang penuh emosi bersama pejuang Cina lainnya mati-matian membela tanah airnya dari gempuran pasukan tentara Jepang. Dia dan ribuan prajurit Cina akhirnya berhasil ditangkap dan dibantai dengan keji oleh tentara Jepang. Nasib rakyat sipil, terutama anak-anak dan wanita semakin tidak jelas. Meski berlindung di bawah pengawasan Palang Merah dan mengungsi di zona aman perang, tetap saja Jepang dapat bertindak dengan seenaknya.

Jiang (Yuanyuan Gao), seorang guru bersama beberapa orang asing dari tim Palang Merah berusaha melindungi para pengungsi yang tersisa. Mereka menyuruh para wanita untuk memotong rambutnya agar seperti lelaki supaya mencegah tentara Jepang melirik mereka. Tetapi tetap saja tidak berhasil. Mereka setiap malamnya tetap mendapat perlakuan yang kasar dan diperkosa oleh tentara Jepang. Mereka gagal. Jepang selalu bernegosisasi dengan cara liciknya demi memuaskan tujuan mereka.

Ketakutan yang digambarkan dalam film "Nanking! Nanking!" atau "City of Life and Death" ini begitu dramatis. Tampak suasana yang mencekam dalam sebuah peristiwa perang. Di balik kekejian pasukan Jepang  masih terpancar sisi kemanusiaan dalam Sersan Kadokawa (Hideo Nakaizumi). Kehormatan sebagai manusia atas ketidak adilan dan penindasan yang ia lihat oleh matanya sendiri dipertanggung jawabkan dengan bunuh diri. Heroik!

Banyak sekali pemandangan yang tidak mengenakkan dalam film ini: potongan kepala yang digantung, orang dikubur hidup-hidup, pemerkosaan. Begitulah kenyataan perang yang terjadi. Dan Chuan Lu berhasil menggambarkan peristiwa tersebut dengan nyata. Dan saya pun belum yakin sepenuhnya apakah film ini merupakan sebuah propaganda, namun menjadi sebuah penggambaran sebuah sejarah yang akan terus dikenang dalam sejarah umat manusia. Dan bersyukurlah digambarkan hitam putih. Jika tidak, darah akan berceceran sepanjang film ini.

Koko Anggoro
Twitter: @guekoko


AWARDS

Asian Pacific Screen
Won
2009 - Achievement in Cinematography (Yu Chao)
2009 - Achievement in Directing (Chuan Lu)
Nominated
2009 – Best Film

Asian Film Awards
Won
2010 - Best Cinematographer (Yu Chao)
2010 - Best Director (Chuan Lu)
Nominated
2010 - Best Film
2010 - Best Composer

Golden Horse Film Festival
Won
2009 - Best Cinematography (Yu Chao)
Nominated
2009 - Best Visual Effect (Don Ma)

Hongkong Film Awards
Nominated
2009 – Best Asian Film
2010 – Best Asian Film

Oslo Films from the South Festival
Won
2009 – Film from the South Award (Chuan Lu)

San Sebastián International Film Festival
Won
2009 – Best Cinematography (Yu Chao)
2009 – Golden Seashell (Chuan Lu)