Minggu, 27 November 2011

Låt den rätte komma in (2008) - Review

Låt den rätte komma in - Let The Right One In

Released Date: 24 October 2008 (Norway)
Genre: Drama, Fantasy, Romance
Director: Tomas Alfredson
Cast: Kåre Hedebrant, Lina Leandersson, Per Ragnar

Att fly är livet, att dröja döden” -- To flee is life, to linger is death

Bram Stoker’s Dracula (disutradarai oleh Francis Ford Coppola) selama dua dekade lebih menjadi film vampire paling tak terlupakan. Lalu datanglah Låt den rätte komma in.  Anda boleh mendebatnya, namun yang jelas Twilight Saga berbeda ‘maqom’ dengan kedua film di atas.

Diangkat dari novel berjudul sama, film ini berjalan dengan pelan namun pasti di bagian awalnya. Sampai kita dipertemukan dengan magnet utama film: Eli (diperankan dengan anggun sekaligus dingin oleh Lina Leandersson).

Oskar (Kåre Hedebrant) adalah seorang bocah 12 tahun penyendiri yang kerap menjadi korban bully teman-temannya di sekolah. Ia tinggal berdua bersama ibunya di sebuah apartemen di pinggiran Stockholm. Karakter passive-aggressive terlihat bersemayam dalam diri Oskar. Terdengar klasik memang,  sampai suatu hari Oskar kedatangan tetangga baru, Eli gadis yang sebaya dengannya. Meski pada awalnya Eli memperingatkan Oskar untuk tidak menjadi temannya, chemistry kuat yang terbangun di antara keduanya tak terelakkan.

Pertemanan keduanya pun tumbuh, walau belakangan rahasia kelam Eli sebagai ‘bukan seorang gadis biasa’ perlahan terkuak.  Di sisi lain, Eli mengetahui bahwa Oskar sering menjadi bulan-bulanan di sekolah. Eli memberitahu Oskar untuk tidak tinggal diam, ia berjanji akan membantu dan meyakinkan Oskar bahwa ia dapat membantunya.

Karakter yang kuat, nuansa sepi dan dingin yang kental dalam film ini merupakan hal yang tidak didapat dari remake Amerika, Let Me In (2010). Jika kebetulan memiliki kedua versi film ini, sangat disarankan untuk menyimak versi Hollywood terlebih dahulu. Atau jauhi sama sekali Let Me In, karena satu-satunya hal yang lebih baik dibanding Låt den rätte komma in adalah scene menusuk leher orang digantung untuk diambil darahnya.

Kenapa film ini diberi judul Let The Right One In? Menjawabnya jelas akan merusak kejutan cerita, karena satu adegan yang menjelaskan pertanyaan tersebut adalah bagian terkuat dalam film ini.
Lalu, apakah kisah Oskar-Eli lebih mengesankan dibanding Edward-Bella? Sekali lagi, keduanya berada dalam level yang berbeda!

Thirdi Canggi
Twitter: @canggi

Selasa, 22 November 2011

Kabluey (2007) - Review

Kabluey (2007)
Cast: Scott Prendergast, Lisa Kudrow, Christine Taylor
Genre: Drama, Comedy
Director: Scott Prendergast

From zero to hero mungkin penggambaran yang tepat untuk Inept Salman (Scott Prendergast). Tidak punya uang, dianggap tidak berguna oleh kakak iparnya, bahkan diancam dibunuh oleh keponakannya sendiri karena sikapnya. Namun cobaan yang terus menerus menimpanya membuat dia tersadar akan potensi dirinya sendiri sebagai pahlwan bagi keluarga kakak iparnya.

Di balik tema ceritanya yang terkesan 'sangat Holywood', film ini sebenarnya memaparkan bagaimana penatnya sebuah keluarga muda Amerika dalam menghadapi realita yang terjadi pada periode 2004-2008. Leslie (Lisa Kudrow) menghadapi kenyataan suaminya harus pergi bertugas untuk tentara di Irak tanpa kabar yang pasti. Dua anaknya sangat merepotkan karena keaktifan mereka, lalu ditambah munculnya Salman si adik ipar yang bagai parasit di rumahnya. Kondisi dalam negeri Amerika sendiri saat itu pun tengah menuju krisis ekonomi yang membuat bisnis lesu. Ketidakpastian suaminya pun nyaris membuat dia mengambil jalan pintas untuk mendapatkan uang secara instan: berselingkuh dengan bosnya. Intinya situasi saat itu adalah worst case scenario untuk Leslie.

Seperti umumnya tokoh-tokoh pahlawan Amerika lainnya, Salman pun mempunyai kostum sendiri. Tapi jangan bayangkan kostum tersebut berotot dan laksana Superman dan seketat Spiderman. Kostum yang dipakai adalah maskot sebuah perusahaan penyewaan ruang kantor di daerah pertanian!

Kepahlawanan Salman sendiri bukanlah dengan menumpas kejahatan seperti pahlawan-pahlawan berotot dan berbaju ketat yang diuraikan tadi tapi bagaimana cara dia menjadi berarti bagi keluarga Leslie. The man in blue doesn't always make us feeling blue.

Donny
Twitter: @donskyy




Kamis, 17 November 2011

I Served the King of England (2006) - Review

I Served the King of England
Released Date: 11 January 2007 (Czech Republic)
Cast: Ivan Barnev, Oldrich Kaiser, Julia Jentsch, Martin Huba
Genre: Comedy, Drama, Romance
Director: Jiri Menzel

Jangan tertipu oleh judul film ini adalah hal yang penting sebelum anda tonton, ini bukan kisah 'abdi dalem' Kerajaan Inggris. Siapa yang menyangka Republik Ceska mampu menghasilkan film sebagus ini? Sederhana, lucu, dengan plot yang tidak membingungkan dikemas dengan apik oleh Jiri Menzel, sang sutradara, hasil garapan novel berjudul sama karangan Bohumil Krabal.

Film ini berkisah tentang bagaimana penuh warnanya kehidupan seorang Jan Dite kala muda (Ivan Barnev). Dari seorang penjual sejenis hotdog di stasiun, menjadi pramusaji, menjadi asisten pelayan di hotel serta restoran, hingga menjadi orang kaya lalu menjadi bukan siapa-siapa. Semua dialaminya dengan otodidak dan berdasarkan  keingintahuannya akan pengalaman baru dalam kehidupan. Dari 'keluguan' Dite, kita juga dapat mempelajari bagaimana cara beradaptasi dan bertahan di dalam negara yang tiba-tiba berganti rezim.

Dalam sebuah kehidupan tentu tak lengkap rasanya jika tidak ada unsur percintaan di dalamnya. Untuk seorang yang lugu dalam kehidupan sehari-harinya, maka Dite tidak terlalu lugu untuk urusan ranjangnya bahkan tergolong freak. Bagaimana ia menjadi kaya pun tak terlepas dari keahliannya dalam menarik wanita, hal yang terbawa hingga ia tua (diperankan oleh Oldrich Kaiser).

"Ambition wil get you anywhere", petikan dari film ini memang tepat untuk menggambarkan kepribadian Dite. Jangan khawatir merasa bosan dengan kisah hidup Dite, karena dalam hidupnya juga terdapat hal-hal konyol yang dijamin membuat kita tertawa. Jadi, akan ke mana kita dengan ambisi yang kita miliki?

Donny
Twitter: @donskyy


Rabu, 16 November 2011

Waltz with Bashir (2008) - Review

Waltz with Bashir
Released Date: 12 June 2008 (Israel)
Cast: Ari Folman, Ron Ben-Yishai, Ori Sivan, Ronny Dayag
Genre: Animation, Biography, Drama
Director: Ari Folman

Lupa. Tentu kita sering mengalaminya selama menjalani hidup. Namun bagaimana jika melupakan sebuah kejadian hebat yang pernah kita alami, karena memang terlalu pahit atau takut untuk mengingatnya? Hal inilah yang coba diutarakan Ari Folman dalam film ini. Entah Folman benar-benar lupa atau hanya sengaja lupa demi terciptanya plot film animasi semi-dokumenter ini. Entahlah, mungkin Folman sendiri yang bisa menjawabnya.

Kejadian hebat yang dimaksud dalam film ini adalah Pembantaian Shabra dan Satila, yang dilakukan pasukan Kristen Phalangist terhadap pengungsi Palestina sebagai aksi balas dendam atas terbunuhnya Perdana Menteri Bashir Demayel, kala berlangsung Perang Saudara di Libanon pada tahun 1982. Folman saat itu berusia 19 tahun dan bergabung dengan Tentara Pertahanan Israel, yang juga sedang berperang dengan kelompok Hizbullah Libanon, namun entah mengapa kejadian ini seakan tidak pernah masuk dalam memorinya. Folman perlahan-lahan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu sampai dirinya sama sekali tidak mengingatnya.

Saya tidak akan menceritakan isi film tersebut seutuhnya, namun ada dua poin yang hendak disampaikan oleh Folman dalam film ini. Pertama, sangat jelas bahwa kita boleh 'terpaksa' melupakan sesuatu peristiwa yang benar-benar sangat tidak kita inginkan untuk diingat. Yang kedua, sekecil peran apapun kita dalam suatu kejadian maka sebesar itu pula tanggung jawab kita terhadap kejadian tersebut. Jadi teringat sebuah grafiti di tembok jalan kosan menuju UI: "Diam melihat orang tertindas sama dengan penindas". Jadi apakah Folman betul-betul lupa atau hanya berpura-pura lupa demi terciptanya film ini? Anda yang menilainya.

Donny
Twitter: @donskyy

Senin, 14 November 2011

Bunraku (2011) - Review

Bunraku (2011) - Review
Release Date: 30 December 2011 (Spain)
Genre: Drama, Action, Fantasy
Cast: Josh Hartnett, Demi Moore, Woody Harrelson, Ron Perlman
Director: Guy Moshe

Permainan grafis dan animasi yang memukau terus berkembang pesat dalam industri film. Tentu masih ingat dengan film “Sky Captain and the World of Tomorrow” tahun 2004 yang menggunakan CGI (Computer-generated imagery) sebagai latarnya. Dan “Bunraku”, salah satu film yang mampu memukau saya dengan desain CGI yang menawan.

Menceritakan masa depan dimana tidak ada lagi senjata api. Dunia dikuasai oleh penjahat nomor 1, Nicola alias The Woodcutter (Ron Perlman). Ini adalah perjuangan dan balas dendam The Drifter (Josh Hartnett) dan Yoshi (Gackt), dibantu dengan seorang bartender (Woody Harrelson), yang ingin balas dendam dan merebut medali dari tangan sang penguasa jahat itu.  Dan tipikal kebanyakan film fantasi tentang masa depan, semua unsur zaman dimasukkan ke dalamnya: gangster, koboi, samurai, saling hidup bersama. Retro-modern.

Di film ini, Guy Moshe seperti ingin memadukan gaya film-film aksi yang pernah sukses mengandalkan CGI seperti “Kill Bill”, “Sin City”, dan “Sucker Punch”. Dan saya sedikit heran dengan Demi Moore yang mau bermain di sini. Padahal peran yang dimainkannya di sini tidak begitu spesial untuk aktris sekaliber dia. Tetapi untuk penggemar komik dan fantasi, grafis yang ditampilkan mampu memanjakan mata.

Koko Anggoro
Twitter: @guekoko



Jumat, 11 November 2011

My Wife Is An Actress (2001) - Review


My Wife Is An Actress - Ma Femme Est Une Actrice
Release Date: 14 November 2001 (Belgium)
Genre: Drama, Romance, Comedy
Cast: Charlotte Gainsbourg, Yvan Attal, Terrence Stamp
Director: Yvan Attal

Pernah membayangkan suatu saat anda akan bersanding dengan perempuan seperti Laudya Cinthia Bella, Revalina S Temat, Marissa Nasution atau Olivia Lubis menjadi pasangan hidup kita? Tentu pernah kan? Syukurlah jika anda cuma sekadar membayangkan hal tersebut. Namun jika anda hendak merealisasikannya, maka cobalah tonton film ini terlebih dahulu.

Yvan (Yvan Attal), wartawan olahraga, memiliki seorang istri yang setiap pria idam-idamkan dan merupakan seorang artis papan atas dunia, Charlotte (Charlotte Grainsbourg). Awalnya semua tampak berjalan normal, kecuali privasi yang kian kurang terasa akibat banyaknya permintan tanda tangan ataupun foto di setiap kesempatan mereka berjalan, namun Yvan tidak pernah mensoalkan kerja sang istri ketika syuting tiap filmnya. Sampai suatu saat obrolan ringan dengan teman kakaknya di sebuah kedai kopi 'menyadarkannya'. Kecemburuan terhadap aktor lawan main istrinya, membuat kehidupan Yvan jauh dari kata seimbang. Di sisi lain, Yvan memcoba 'memasuki' dunia sang istri, namun sifat amatirnya nyaris hampir membuatnya kehilangan sang istri yang jauh lebih profesional dalam bidangnya.

Jika suatu saat anda mendapatkan artis sebagai pasangan hidup anda dan anda bukan dari dunia yang sama dengan mereka cobalah tonton film ini dahulu. Pesan yang hendak disampaikan sebenarnya cukup sederhana, yakni sejauh mana anda mau mengerti terhadap pasangan anda, terlepas apapun pekerjaan mereka. Tapi jika boleh meminjam tagline makanan ringan: life is never flat, maka pura-puralah tidak mengerti, namun ingat resiko ditanggung sendiri.

Donny
Twitter: @donskyy





AWARDS

Cabourg Romantic Film Festival
Won
2002 – Best Director (Yvan Attal)

Rabu, 09 November 2011

Unter dir die Stadt (2010) - Review


Unter dir die Stadt - The City Below
Release Date: 15 December 2010 (France)
Genre: Drama, Romance
Cast: Nicolette Krebitz, Robert Hunger-Bühler, Mark Waschke
Director: Christoph Hochhäusler

Hasrat terkadang datang terduga. Bahkan tidak terkecuali dialami seseorang yang sudah memiliki ikatan sakral seperti pernikahan. Itu manusiawi, namun tergantung bagaimana cara menghadapi situasi itu. Pertemuan Svenja (Nicolette Krebitz) dan Roland Cordes (Robert Hunger-Bühler), pimpinan bank tempat suami Svenja bekerja, berawal dari sebuah galeri dan sebatang rokok. Dan mereka saling tertarik saat sesi foto Roland untuk biografinya.

Sejak pertemuan itu, hubungan antara keduanya semakin jauh. Jabatan sebagai pimpinan dimanfaatkan Roland untuk memuluskan hubungannya dengan Svenja. Oliver Steve (Mark Waschke) mendadak mendapatkan promosi dan harus dipindahtugaskan ke Jakarta selama enam bulan percobaan menggantikan pegawai yang dibunuh terpotong-potong di sana. Suami Svenja itu padahal baru bekerja di bank tersebut selama 3 bulan.

Svenja terjebak dalam situasi berbahaya. Dirinya sangat menyayangi sang suami namun tidak bisa lepas dari keadaan ini. Dan Svenja semakin kesal dengan segala kisah masa lalu Roland yang penuh rekayasa. Kebosanan adalah dasar mengapa hubungan Svenja dan Roland terjadi. Svenja seorang istri yang tidak memiliki pekerjaan, sedangkan Roland menyadari sejarah hidupnya yang biasa saja. Mereka pun menjadikan itu sebagai pemicu melakukan sebuah tindakan yang menantang.

Ini adalah kisah tentang kekuasaan, arogansi, dan pengkhianatan. Semulus apapun sebuah perselingkuhan, pasti tidak akan berujung bahagia dan harus ada yang dikorbankan. Dan di akhir film, penonton dibawa ke dalam penentuan keputusan berdasarkan persepsi masing-masing.

Koko Anggoro
Twitter: @guekoko


Minggu, 06 November 2011

Life in a Day (2011) - Review


Life in a Day (2011)
Release Date: 2 June 2011 (Russia)
Genre: Documentary, Drama
Producer: Ridley Scott, Tony Scott
Director: Kevin Macdonald, The YouTube Community

Apa yang Anda lakukan pada tanggal 24 Juli 2010? Apa yang dilakukan manusia di muka bumi ini?

“Life In A Day” membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam membuat sebuah film. Disusun dari 80.000 video terpilih berdurasi lebih dari 4.500 jam yang berasal dari pengguna internet yang tersebar di 192 negara. Potongan tersebut akhirnya menghasilkan sebuah film berdurasi 95 menit yang menceritakan bagaimana kehidupan orang-orang di dunia ini dalam satu hari itu.

Bahagia, kesedihan, emosi, tragedi, hingga yang sama sekali yang tidak penting terangkum dalam satu hari. Beragam kejadian terekam, mulai dari pagi dimulainya hari hingga berakhirnya tanggal 24 Juli. Tidak semua gambar diambil dengan teknik membuat film. Justru film ini terlihat spontan dan dan natural. Setiap orang bebas ingin merekam apa saja yang kemudian disusun menjadi kronologi.

Koko Anggoro
Twitter: @guekoko


Sabtu, 05 November 2011

Melancholia (2011) - Review


Melancholia (2011)
Release Date: 26 May 2011 (Czech Republic)
Genre: Drama, Sci-Fi
Cast: Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg and Kiefer Sutherland
Director: Lars von Trier

Sayang sekali bahwa Melancholia tidak (atau belum) diputar bioskop lokal. Agaknya, harus ada Brad Pitt dalam sebuah film untuk mewujudkan itu, sebagaimana ia ‘menipu’ ekspektasi ribuan penonton The Tree of Life di sini.

Melancholia adalah film kesebelas Lars von Trier yang saya tonton. Agak sulit untuk menghalau bayang-bayang film sebelumnya, jadi harap dimaklumi jika saya melakukan beberapa perbandingan. Film ini jauh dari jelek, namun harus saya katakan: saya tidak terlalu terkesan.

Dibuka dengan 7 menit adegan dalam gerak super lambat dilatari musik klasik, membuat saya sedikit de javu akan prolog Antichrist (2009). Dari segi visual, film ini sangat mencengangkan. Nuansa ‘dunia lain di luar realita’ dalam Melancholia menurut saya hanya kalah dengan The Element of Crime(1984).

Prolog 7 menit di atas juga merupakan bocoran dari epilog Melancholia.  Ini kontras dengan Dogville (2003) maupun The Boss of It All (2007) yang membuat penonton berusaha menebak akhir cerita menjadi frustrasi. Namun itu bukan sebuah kelemahan, justru ending preview film itulah sebagai pijakan untuk menghayati detik-detik menuju ‘akhir dunia’.

Melancholia adalah sebuah planet biru berukuran 20 kali bumi yang dalam waktu dekat akan menabrak bumi. Justine (Kirsten Dunst) menyadari hal ini tepat di hari pernikahannya. Reaksi Justine dan kakaknya, Claire (Charlotte Gainsbourg) yang bertolak belakang dalam menghadapi akhir dunia inilah yang menjadi inti cerita film. Dijamin menarik, karena sang sutradara film adalah seorang ahli dalam memadukan dua hal kontras menjadi pengalaman yang luar biasa.

Lars von Trier juga dikenal sangat asertif kepada aktor dan (terutama aktrisnya). Setelah ‘menyiksa’ Bjork (Dancer In The Dark, 2000), Charlotte Gainsbourg (Antichrist, 2009), ia juga melakukannya kepada Kirsten Dunst. Dan ketiganya menjadi aktris terbaik Cannes. Entah apa yang dimakan Dunst sehingga wajahnya menjadi demikian depresif. Yang jelas, ia layak mendapatkan piala itu. Dan saya yakin pengalaman Dunst duduk di sebelah orang yang mengatakan “Saya bersimpati kepada Nazi” serta “Saya memahami Hitler” dalam sebuah konferensi pers festival film nomor wahid merupakan pengalaman tak kalah mengejutkannya.

Thirdi Canggi
Twitter: @canggi


  
AWARDS

Cannes Film Festival
Won
2011 – Best Actress (Kirsten Dunst)
Nominated       
2011 – Palme d'Or (Lars von Trier)

Hamptons International Film Festival
Won    
2011 – Special Recognition – Breakthrough Performer (Alexander Skarsgård)

Jumat, 04 November 2011

Scent of a Woman (1992) - Review


Scent of a Woman (1992)
Release Date: 23 December 1992 (USA)
Genre: Drama
Cast: Al Pacino, Chris O'Donnel, Phillip Seymour Hoffman
Director: Martin Brest

Jika ada nominasi untuk 'Orang Buta Terhebat di Film' maka Frank Slade akan bersanding dengan Daredevil serta Si Buta Dari Gua Hantu sebagai nominatornya. Namun kehebatan Frank Slade bukanlah terletak dari gaya bertarungnya, melainkan keahliannya sebagai tukang omel nan cerewet, terobsesi akan perempuan, namun sangat teramat handal menari tango dan mengendarai Ferarri (mungkin regulasi menyupir di Amerika berubah setelah film ini, karena orang buta tidak akan ditahan karena menyetir Ferarri).

Frank Slade, pensiunan tentara yang buta dan kesepian namun bermulut sarkas, mungkin orang terakhir yang akan anda temui jika anda disuruh memilih. Namun hal itu tidak membuat Charlie Simms gentar menghadapinya, walaupun masalah yang dialami Charlie sebelum mengambil pekerjaan paruh waktu untuk menjaga Frank sudah cukup membuat pusing kepalanya. Pada akhirnya kedua orang ini saling melengkapi satu sama lainnya dalam masalah yang mereka alami. Charlie mdmberikan Frank motivasi hidup yang indah, meskipun dia buta. Frank menyelamatkan kelanjutan sekolah Charlie lewat pidato mencengangkan di sekolah yang katanya menghasilkan pemimpin handal. Ups dan tak lupa sedikit bonus dari Frank untuk Charlie adalah kuliah singkat mengenai wanita.

Frank dalam suatu momen di film berkata "The day we stop looking, is the day we day". Tapi kami percaya bahwa saat kita berhenti bernafaslah, kami akan mati. Dan kami akan mati dalam penyesalan jika tidak mendengar nasihatmu soal wanita, Frank. So, cheer up, Frank!

Donny Hermaswangi
Twitter: @donskyy

Kamis, 03 November 2011

Hanna (2011) - Review


Hanna (2011)
Release Date: 8 April 2011 (USA)
Genre: Action, Mystery, Thriller
Cast: Saoirse Ronan, Eric Bana, Cate Blanchett
Director: Joe Wright

Pagi ini harus ada di Kantor jam 7 pagi, persiapan karena bos saya harus meeting jam 10. Setelah komputer kerja saya dinyalakan, tiba-tiba DVD ROM memutar adegan seorang cewek blonde sedang berlarian. Penasaran saya buka finder ternyata ada DVD dengan judul “Hanna” di dalamnya. Pas banget karena ibu bos pergi meeting. Sebelum memulai pekerjaan, nggak ada salahnya dong saya nonton film ini yang berdurasi sekitar 1 jam 46 menit ini :) (Salah dong, jam kerja kok malah nonton DVD :p)

Film ini dimulai dengan adegan seorang anak kecil yang tengah memburu rusa di dalam sebuah hutan yang diselimuti salju. Anak kecil itu bernama Hanna (Saoire Ronan), seorang gadis yang dilahirkan di fasilitas riset di Polandia, Galinka. Embrio Hanna adalah hasil fertilisasi yang diberi sedikit perubahan untuk meningkatkan kekuatan otot, menambah kepekaan, mengurangi rasa iba dan takut. Embrio Hanna dipersiapkan untuk menjadi soldier.

Karena merasa keamanan puterinya terancam, Eric Heller (Eric Bana), seorang mantan agen CIA, mengasingkan puterinya dan melatihnya di sebuah hutan di Finlandia. Eric mempersiapkan Hanna untuk sebuah misi yang Hanna sendiri tidak tahu. Dia hanya diberitahu kalau ia harus membunuh Marissa Wieglr (Cate Blanchett). Marissa tidak akan berhenti mengejarnya sebelum Hanna mati. Maka pilihannya: Hanna atau Marissa yang mati.

Ada beberapa scene yang nggak penting sih di film ini, seperti hanya untuk menampilkan sisi manis si Hanna aja. Tapi secara keseluruhan film ini seru dan menegangkan dan saya kagum sosok Hanna yang manis, cantik dan tangguh. :)

Citra Pramana
Twitter: @_citz



AWARDS

World Soundtrack Awards
Nominated
2011 - World Soundtrack Award - Discovery of the Year (Ed Simons, Tom Rowlands)

Rabu, 02 November 2011

Bicycle Thieves (1948) - Review

Bicycle Thieves (Ladri di biciclette) (1948)
Release Date: 13 December 1949 (USA)
Genre: Crime, Drama
Cast: Lamberto Maggiorani, Enzo Staiola and Lianella Carell
Director: Vittorio De Sica

Hipotesis kedua saya: film-film dengan setting perang atau pasca perang adalah film-film yang paling mengusik nurani manusia.

Penyesalan mendalam saya rasakan usai menyaksikan film ini. Sama sekali bukan karena jelek, melainkan rasa yang tersisa ketika film selesai. Dan memang seharusnya seperti itulah film yang bagus: penonton sendirilah yang ‘menuntaskan’ film, bukan sang sutradara.

Antonio Ricci adalah sedikit dari ribuan orang di kota Roma yang sangat membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup. Di tengah ekonomi yang amburadul pasca perang usai, pekerjaan yang tersedia sangat terbatas.

Keberuntungan menghampiri Antonio. ia terpilih untuk menjadi penempel poster di dinding-dinding kota. Satu syarat yang membuatnya pusing: ia harus memiliki sepeda. Tidak ada sepeda, tidak ada pekerjaan.

Maria, istri Antonio tak kehilangan akal. Ia menggadaikan sprei dan selimut mereka, uangnya digunakan untuk membeli sepeda bekas. Antonio, Maria, dan putra pertama mereka, Bruno sesaat menjadi orang-orang paling bahagia di dunia. Selanjutnya, saya tidak tega untuk merusak cerita.

Perhatian khusus saya sematkan kepada Enzo Staiola yang berperan sebagai Bruno Ricci. Saya tidak pernah melihat antusiasme dan kegigihan seorang anak kecil dalam sebuah film. Tiada banding!

Fakta yang mengejutkan lagi bahwa sang sutradara, Vittorio de Sicca tidak menggunakan aktor professional dalam film-filmnya. Pemeran utama “Bicycle Thieves”, Lamberto Maggiorani adalah seorang pekerja pabrik. Setelah kesuksesan film ini, ia kehilangan pekerjaannya di pabrik dan ‘terpaksa’ menjadi aktor sepenuhnya.

Pemilihan judul “Bicycle Thieves” ini sangat brilliant, karena memang ada dua (pihak) pencuri sepeda. Pencurian kedua inilah bagian yang paling mengguncang dari film ini. Tidak berlebihan jika banyak pihak yang menganggap inilah salah satu karya sinema terbaik dari italia sepanjang masa. Sederhana, namun sangat mengena.

Thirdi Canggi
Twitter: @canggi